Foto Istimewa
Warkop Politik, Kabar Sehari di Kalbar
BERSAMA.COM - Seharian kemarin, tidak banyak berita yang heboh di Kalbar. Ditambah ngopi sendiri, jadi tak seru.
Kemarin berharap ada berita yang bikin mulut melongo. Sayangnya harus kecewa. Tidak ada gempa politik yang mengguncang tiang-tiang warung kopi. Tunggu dulu, jangan buru-buru bosan! Di balik hiruk-pikuk cangkir kopi, ada kabar yang bisa bikin kita geleng-geleng kepala, minimal tertawa pahit—seperti kopi hitam tanpa gula.
Pertama, mari kita tepuk tangan untuk bapak calon gubernur yang punya cerita sedih yang lebih cocok jadi plot sinetron jam tayang utama. Bayangkan ini: “Saya 30 tahun mengabdi di partai, lalu akhirnya dipecat. Dan yang lebih indah lagi, SK pemecatan saya dibacakan oleh anak saya sendiri!” Bukankah ini suatu bentuk kebersamaan keluarga yang sangat jarang kita temui? Sang anak mungkin berpikir, “Ini kesempatan emas untuk balas dendam karena disuruh cuci piring pas kecil dulu!” Ah, politik dan keluarga, memang kombinasi yang mematikan.
Tunggu sebentar, jangan keburu simpati! Di saat bapak ini merenungi nasib 30 tahun mengabdi, ada seorang kader partai yang pernah terjerat kasus korupsi malah diusung lagi. Lho, kok bisa? Ya, memang begitulah. Di dunia politik, rupanya pengalaman jadi tersangka justru bisa jadi prestasi tambahan. “Rekam jejak korupsi? Ah, itu cuma bonus!” Logika partai sepertinya sudah ber-evolusi ke level absurd, di mana yang tersangka diangkat, yang loyal malah dilengserkan. Ah, sungguh kompetisi bak talent show—tapi yang menang justru yang paling bikin kita tepok jidat.
Belum cukup sampai di situ. Kabar lain yang datang adalah demo mahasiswa yang menggebrak kampus dengan semangat anti-korupsi. Sang rektor, yang biasanya lebih sibuk pidato soal “integritas dan moralitas,” sekarang didemo karena dugaan kasus korupsi. Para mahasiswa berbaris di depan kejaksaan, membawa spanduk bertuliskan dosa-dosa sang rektor. Luar biasa kreatif, mungkin ada kelas khusus tentang “Seni Membuat Spanduk Sindiran.” Korlapnya lebih mirip pahlawan aksi, dengan megaphone di tangan dan kacamata hitam yang entah dipakai buat gaya atau memang sedang terik banget.
Yang menggelikan di sini adalah ironi yang terus-menerus kita saksikan. Mahasiswa yang seharusnya fokus kuliah malah jadi aktivis dadakan. Sepertinya, sang rektor lupa bahwa mahasiswa sekarang bukan hanya pintar di dalam kelas, tapi juga berani di luar kampus. Jadi, kalau rektor korupsi? Ya jelas mahasiswa demo, dong! Hebatnya, sang rektor tetap tenang, mungkin dalam hati dia berpikir, “Ah, biarlah, nanti juga viral hilang, saya kembali menjabat seperti biasa.”
Dari sini, kita bisa melihat bahwa politik, baik di skala nasional maupun lokal, selalu punya cara untuk membuat kita tertawa getir. Para politisi mungkin merasa bahwa jabatan adalah panggung opera di mana mereka bisa berakting tanpa perlu takut kehabisan penonton. Kita, sebagai rakyat biasa, hanya bisa duduk sambil menyeruput kopi hitam, menyaksikan panggung drama ini terus berputar.
Tenang, Kalbar. Mungkin besok ada berita yang lebih menghebohkan. Siapa tahu, ada yang mau bikin sinetron dengan genre politik baju hantam. Yang berperan jadi tersangka malah jadi pahlawan. Ah, hidup memang penuh satire yang tak pernah habis.
Sumber : Rosadi Jamani