Foto Konfrensi Pers (Bersame)
Perlakuan Tak Adil dari Biro Wassidik, Korban Mafia Tanah Minta Perlindungan ke Presiden dan Kapolri
PONTIANAK - Proses gelar perkara khusus yang digelar oleh Biro Wassidik Mabes Polri atas permohonan PT Bumi Indah Raya (BIR) memunculkan kecurigaan terkait adanya intimidasi terhadap Lili Santi Hasan, yang mengaku sebagai korban mafia tanah. Hal ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa permohonan gelar perkara Lili Santi Hasan sebelumnya tidak mendapatkan respon yang memadai, sementara permohonan PT BIR justru langsung ditanggapi dengan cepat.
Lili Santi Hasan, yang merasa diperlakukan tidak adil, menyatakan kekecewaannya terhadap Biro Wassidik Mabes Polri. Menurutnya, langkah cepat Biro Wassidik dalam merespon permohonan ulang dari PT BIR menunjukkan adanya indikasi keberpihakan.
"Dulu kami memohon ke Mabes Polri namun dijawab hanya dengan surat. Ketika kami mengadukan hal ini ke Polda Kalbar, mereka sudah bekerja secara profesional dan menetapkan tersangka. Namun, PT BIR tidak terima dan memohon ulang ke Mabes, yang langsung ditanggapi dengan gelar perkara khusus," ungkap Lili Santi Hasan sat Konferensi Pers di dampingi kuasa hukumnya, Dr. Herman Hofi Munawar dan Andi Hariadi, Sabtu, 28/9/2024.
Lili Santi juga meminta keadilan kepada Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas perlakuan hukum yang berbeda antara dirinya, seorang rakyat kecil, dan perusahaan besar seperti PT BIR. "Kami rakyat kecil mohon keadilan. Mengapa mereka dengan sertifikat hak pakai (HPL) yang diragukan justru dibela oleh Wassidik Mabes Polri? Di mana keadilan hukum di negeri ini?" tanyanya.
Kuasa hukum, Dr. Herman Hofi Munawar, turut mengungkapkan ketidakprofesionalan Biro Wassidik Mabes Polri, khususnya terhadap pimpinan gelar perkara, AKBP Wijonarko. Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa penyidikan yang telah menetapkan mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kubu Raya sebagai tersangka mungkin akan dihentikan.
Pria yang akrab di sapa Herman Hofi juga menyebutkan bahwa terdapat berbagai kejanggalan yang menguatkan kecurigaan adanya intervensi dalam proses hukum tersebut.
"Kami menduga, mungkin ada ketakutan dari pihak tertentu atas potensi pengungkapan keterlibatan orang lain berdasarkan pengakuan tersangka," ujar Dr. Herman.
Ia juga menyoroti perbedaan sikap antara Biro Wassidik saat menanggapi permohonan dari Lili Santi Hasan dan PT BIR, di mana permohonan Lili Santi hanya dijawab dengan surat, sementara PT BIR langsung mendapatkan respons cepat.
Selama proses gelar perkara, Lili Santi Hasan merasa terintimidasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Ia menilai pertanyaan-pertanyaan tersebut cenderung menyudutkan dirinya dan berpihak kepada PT BIR. Kondisi ini, menurut Herman, menunjukkan ketidakkonsistenan Biro Wassidik terhadap kebijakan hukum dan kebijakan Menteri ATR/BPN terkait mafia tanah.
Dr. Herman juga memaparkan beberapa kejanggalan dalam gelar perkara yang dipimpin oleh AKBP Wijonarko, di antaranya:
1. Menganggap constatering rapport sebagai akta otentik, padahal yang dilaporkan adalah SHP Nomor ..., yang diterbitkan berdasarkan constatering rapport yang tidak sesuai dengan situasi tanah pada 2006.
2. Salah kaprah dalam menganggap bahwa putusan TUN inkrah menggugurkan proses pidana, menunjukkan ketidakpahaman perbedaan antara Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Pidana.
3. Menganggap Lili Santi telah menerima ganti rugi, padahal ganti rugi tersebut adalah kompensasi pemerintah atas pelepasan hak tanah ayahnya untuk pembangunan akses jalan Jembatan Kapuas II.
4. Menyimpulkan bahwa tanah milik PT BIR yang benar berdasarkan constatering rapport, meskipun dokumen tersebut tidak mencerminkan fakta lapangan yang sebenarnya.
5. Mengklaim bahwa laporan polisi oleh Lili Santi cacat administrasi karena adanya putusan PTUN, meskipun ahli pidana dalam BAP penyidik telah menjelaskan perbedaan antara disiplin ilmu tata usaha negara dan hukum pidana.
6. Mengabaikan perbedaan plotting peta bidang tanah antara SHP Nomor ... dengan peta digital BPN, meskipun ada bukti perubahan letak gambar yang mempengaruhi kepemilikan tanah Lili Santi.
7. Selalu sependapat dengan pengacara PT BIR dan berusaha mencari kesalahan dalam kepemilikan tanah oleh Lili Santi.
8. Mengabaikan temuan tim verifikasi gabungan BPN, PUPR, dan Dinas Pertanahan Kalbar yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur Kalbar 2004, yang mengakibatkan ganti rugi dianggap tidak sah.
9. Membela Sudjulianto sebagai tersangka, dengan membenarkan constatering rapport yang jelas tidak berdasarkan fakta lapangan pada 2006, ketika sudah ada persiapan pembangunan jalan.
10. Tidak memahami aturan penerbitan sertifikat hak pakai dan membedakan antara perpanjangan dan pembaharuan hak, serta salah menyimpulkan bahwa sertifikat hak milik Lili Santi tidak sah.
11. Berasumsi sesat bahwa sertifikat yang lebih dulu terbit adalah yang benar, padahal SHP Nomor 643 tidak terplot di BPN.
Herman juga menambahkan bahwa kliennya tidak memiliki sumber daya untuk "mempengaruhi" proses hukum seperti yang diduga dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
Dr. Herman Hofi Munawar berharap agar Kapolri segera mengevaluasi kinerja Biro Wassidik Mabes Polri dalam menangani kasus ini. "Klien kami, Ibu Lili Santi, adalah korban mafia tanah yang berhak mendapatkan keadilan tanpa adanya intervensi atau keberpihakan dari aparat penegak hukum. Semoga keadilan dapat ditegakkan dan kebenaran berpihak pada yang benar," pungkasnya. (HaDin)