IMG-20241030-WA0116

Foto Istimewa

Janda pun Jadi Isu Debat Terbuka

BERSAME.COM - Mari kita bahas tentang “janda.” Ini serius ya, wak! Ente jangan ketawa-ketiwi. Ya, satu kata yang selalu saja terlempar dari mulut ke mulut layaknya bola panas. Lalu, dipantulkan penuh semangat. Entah kenapa selalu sukses jadi bahan obrolan. Ini seakan-akan seorang janda itu fenomena lebih menarik.  Menarik ketimbang rilis album terbaru dari boyband favorit remaja. Kenapa sih, status janda selalu dikaitkan dengan predikat “menggoda,” “pengalaman,” atau bahkan “lebih bohai”? Seolah-olah setelah menjadi janda, seseorang tiba-tiba berubah jadi karakter film laga yang penuh “kekuatan misterius.”

Di Indonesia, status janda memang seolah punya daya tarik luar biasa di mata masyarakat. Sampai data pun tak ketinggalan mencatat peningkatannya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, jumlah perempuan yang berstatus cerai mencapai 12,83%. Sementara laki-laki hanya 4,32%. Jika dirinci, sebanyak 10,25% perempuan berstatus cerai mati dan 2,58% berstatus cerai hidup. Bandingkan dengan laki-laki yang memiliki 2,66% berstatus cerai mati dan 1,66% cerai hidup. Artinya, mayoritas perempuan menjadi janda bukan karena pilihan, melainkan karena situasi yang sulit, baik kehilangan pasangan karena maut maupun perceraian yang mungkin penuh drama.

Dunia konon sudah maju. Namun, kita masih saja terjebak dalam narasi bahwa seorang wanita yang tak lagi bersuami itu punya label spesial. Janda pirang, janda kembang, janda kaya, semua seperti pelabelan tak kasat mata. Label itu lebih ramai dibandingkan poster-poster calon gubernur. Bahkan, saking panasnya, janda pernah masuk dalam bumbu debat terbuka pemilihan gubernur! Bukan strategi ekonomi, bukan solusi kemiskinan, tapi “Janda kaya lebih baik menikahi pria pengangguran.” Kalau ini solusinya, mungkin saja kita akan punya slogan baru, “Pemuda pengangguran, tunggu apa lagi? Janda kaya siap menunggu.”

Padahal, kita lupa bahwa kebanyakan dari mereka menjadi janda bukan atas pilihan. Bukan karena hobi. Bukan pula ajang pamer kemerdekaan. Ada situasi sulit, rasa kehilangan, perjuangan, dan mungkin harapan yang remuk. Tetapi, mari kita lihat dari sudut pandang psikologi. Apa yang membuat masyarakat masih begitu semangat membicarakan para janda?

Dalam psikologi, fenomena ini disebut “stereotyping” atau pelabelan. Orang-orang menciptakan dan mempercayai karakter tertentu bagi kelompok tertentu. Tak peduli apakah stereotip itu benar atau tidak. “Janda pasti lebih berpengalaman, lebih menggoda.” Eh, tunggu, sejak kapan pengalaman hidup jadi syarat untuk mendapatkan predikat menarik? Ini seolah-olah kalau mau terlihat “pengalaman,” harus lulus jadi janda dulu. Padahal, kalau kita beralih ke realitas, jadi janda bukanlah tiket untuk naik level ke kasta lebih tinggi. Ini melainkan perjalanan hidup yang tak jarang penuh tantangan.

Seorang janda lebih sering berjuang mengurus anak, mencari nafkah, menghadapi stigma dari kiri dan kanan. Janda mungkin hanya bisa menghibur diri dengan menonton drama Korea saat malam. Tentu saja, “drama” dalam kehidupan nyatanya sudah berlebihan. Tapi, toh stigma itu tetap saja mengalir lancar. Bayangkan bagaimana perasaan mereka yang harus menjalani hari-hari dalam label “janda,” dengan beban stigma di bahu yang terus menumpuk.

Nah, mari kita refleksikan sedikit, siapa tahu ada sedikit pencerahan. Berhenti menjadikan status janda sebagai bahan candaan. Stop memandang mereka dengan tatapan “oh kamu pasti ini-itu.” Bukan hanya janda, tapi semua orang, sebenarnya berhak mendapatkan penghargaan atas perjalanan hidupnya, tanpa perlu diperlakukan bak “fenomena alam” yang harus dibahas setiap saat. 

Ayo, sadari kalau di balik semua candaan itu, ada perasaan, ada kisah yang layak dihargai. Karena janda bukanlah status sosial untuk diperdebatkan. Ia adalah bagian dari kehidupan, sama layaknya dengan status lainnya.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar


Komentar As:

Komentar (0)