Foto Ilustrasi
Deep Learning Kurikulum Baru?
BERSAME.COM - Kurikulum Merdeka Belajar, tinggal menunggu waktu jadi cerita. Gantinya, Deep Learning. Istilah ini begitu sering disebut Menteri Dikdasmen. Sambil ngopi di bawah pohon rindang hutan kota, yok kita bahas, "Ape bende deep learning ini, wak!"
Belakangan ini, dunia pendidikan Indonesia kembali riuh dengan istilah baru yang sering disuarakan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti: “Deep Learning.” Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar istilah ini? Sebuah kurikulum baru lagi? Atau sekadar bumbu jargon yang terdengar manis namun, yaaa... seperti permen karet, habis manis sepah dibuang?
Kata “Deep Learning” yang diusung oleh Pak Menteri bukan sekadar embel-embel bahasa Inggris yang sekilas terdengar canggih, layaknya nama menu kopi di kafe baru di Jalan Ayani 2 itu. Di balik istilah ini, tersembunyi konsep pembelajaran yang lebih “mendalam” — atau setidaknya itu yang diharapkan. Bayangkan suasana kelas yang “Mainfull, Meaningful, dan Joyful.” Apa, sih, sebenarnya makna dari ketiga kata ini? Mari kita telusuri satu per satu sambil mengunyah pisang goreng selai ala Winni.
Pertama, Mainfull, Bukan Cuma Main-Main. Kata “Mainfull” jelas terdengar asing di telinga. Namun, jika diurai, konsepnya sederhana, belajar dengan pendekatan bermain, sehingga siswa tidak hanya serius mengejar nilai, tetapi juga menikmati proses. Seolah-olah, Pak Menteri ingin anak-anak kita belajar sambil “bermain” layaknya anak-anak Finlandia. Lupakan soal hafalan rumus dan soal-soal pilihan ganda yang kadang terasa lebih rumit dari memahami isi hati gebetan. Di sini, anak-anak kita akan diajak menemukan sisi fun dari belajar. Ya, sebuah konsep yang sering kali tinggal konsep.
Namun, terbayang betapa serunya kelas yang seperti ini, anak-anak terlibat aktif, ada eksperimen di lapangan, simulasi, permainan edukatif. Tapi, coba tanyakan pada guru-guru di pelosok, yang mungkin belum memiliki fasilitas lebih dari papan tulis dan kapur, apakah metode “Mainfull” ini bisa benar-benar diterapkan? Bukankah ini hanya sebatas angan di awang-awang? Di atas kertas, segalanya mungkin. Di lapangan, yang mereka hadapi hanyalah kebijakan yang terus berganti seperti angin.
Kedua, Meaningful, Lebih dari Sekadar Materi yang Bermakna. Kata “Meaningful” di sini tentu bukan sekadar pengajaran penuh makna filosofis ala Plato atau Aristoteles. Pak Menteri ingin memastikan bahwa pembelajaran tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga berhubungan dengan kehidupan nyata anak-anak. Bayangkan, siswa belajar matematika bukan sekadar menghitung angka, tapi mungkin juga belajar bagaimana merencanakan anggaran pesta perpisahan sekolah atau hitung-hitungan cicilan masa depan, makna yang tidak jauh dari kehidupan nyata.
Tapi tunggu, bukankah ide ini juga sudah pernah digadang-gadang dalam kurikulum sebelumnya? Oh iya, memang, kalau ditelusuri, dari KTSP ke Kurikulum 2013 sampai Kurikulum Merdeka, kata “Meaningful” ini sudah terpatri di sana. Tapi yaaa… sepertinya, konsep ini sebatas nama, belum benar-benar sampai pada penghayatan di lapangan. Sehingga, pertanyaan kita, apakah “Meaningful” ini bakal lebih meaningful dari sekadar wacana?
Ketiga, Joyful, Kebahagiaan yang Dirindukan di Ruang Kelas. Siapa yang tidak ingin belajar dengan rasa senang? “Joyful” adalah impian setiap siswa. Bahkan, guru sekalipun. Namun, bayangkan di kelas yang penuh dengan tumpukan tugas dan PR, bisa dibilang konsep “Joyful” seperti pungguk merindukan bulan. Di benak Pak Menteri, konsep “Joyful” berarti suasana yang positif, bebas dari tekanan, penuh canda tawa, di mana siswa merasa nyaman saat belajar. Sungguh menawan, bukan?
Tetapi, mari jujur saja, bagaimana konsep ini bisa tercipta ketika kurikulum masih padat dengan materi yang menuntut ketuntasan kompetensi yang begitu tinggi? Apalagi, dalam suasana ujian nasional, bayangan “Joyful” mungkin hanya akan berakhir pada tulisan di papan peresmian. Lalu, bagaimana guru-guru kita yang harus mengajar di tengah keterbatasan fasilitas dan tekanan birokrasi? “Joyful” sepertinya masih menjadi impian yang jauh lebih tinggi dari tiang bendera.
Apakah Kurikulum Merdeka Belajar Akan Digantikan?
Lantas, apakah kita sedang bersiap mengganti Kurikulum Merdeka dengan embel-embel baru lagi? Atau ini hanya rebranding seperti membeli ponsel baru yang bentuknya sama, tapi kali ini diklaim lebih “smart”? Pak Menteri mungkin benar dalam satu hal, kita memang butuh perubahan, tetapi yang juga kita butuhkan adalah konsistensi, bukan pergantian demi pergantian. Perubahan kurikulum yang terlalu sering tanpa implementasi yang nyata justru hanya menambah kebingungan, baik bagi siswa, guru, maupun orang tua.
Siapkah Kita?
Akhir kata, ide “Mainfull, Meaningful, dan Joyful” adalah angin segar di dunia pendidikan kita yang kerap kali terasa pengap. Tapi, mari berharap konsep-konsep ini bukan sekadar jargon yang terdengar indah di permukaan. Agar kita tidak hanya berhenti pada wacana, melainkan bergerak pada implementasi nyata. Sesungguhnya, pendidikan adalah tentang membentuk karakter dan masa depan, bukan sekadar eksperimen istilah atau jargon belaka.
Mari kita tunggu dan lihat, apakah “Deep Learning” yang digadang-gadang ini benar-benar akan memberikan kedalaman atau hanya jadi slogan yang hilang tertiup angin kebijakan berikutnya.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar